Jumat, 10 Februari 2012

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan


Oleh: Akhmad Khoerul Fahmi, Sos

Bayangkanlah Anda sebagai warga Indonesia. Mengutip JFK, “apa yang bisa engkau berikan pada Negara?”. Apakah institusi negara itu? Lalu siapakah yang disebut negara sehingga kita layak taat dan mau memberi kepada negara. Bukankah seharusnya negara yang menjamin kehidupan kita?
 
Bukankah ketika presiden dan anggota DPR bisa bersenang-senang, rakyatnya belum tentu juga senang? Jika ada rencana kenaikan BBM yang paling menderita adalah kelompok Elit alias ekonomi sulit. Dimanakah Presiden, menteri, anggota DPR?


Secara ideal, seorang pejabat negara—apapun level tanggungjawabnya—harusnya tidak bisa tidur untuk mengurus rakyatnya. Sebagaimana Khalifah Umar Ibn Khattab yang menangis gara-gara ada kuda terjerambab ke dalam jurang, saat ia menjabat sebagai khalifah. Beliau takut kepada Allah. Untuk dimintai pertanggungjawabannya di akherat kelak.

Demikian pula, Umar bin Abdul Aziz, khalifah legendaris dari dinasti Ummayah yang mamapu mengenyahkan korupsi dan kesewang-wenangan dalam tempo kurang dari 3 tahun. Dan itu dimulai dari diri dan keluarganya untuk tidak semena-mena menggunakan konsep aji-mumpung. Mumpung jadi pejabat maka semua fasulitas adalah miliknya.

Memperbincangkan hal itu, seakan hanya dongeng ataupun materi ceramah di masjid. Sebab rata-rata orang di masjid akan berusaha alim. Kalaupun secara ilmiah biasanya dilakukan untuk menuntut orang lain berlaku seperti Umar. Masya Allah jika sikapnya demikian. Menuntut orang lain berbuat sempurna. Ataupun biasanya sebaliknya, penguasa mencari-cari ayat atau idiom untuk melindungi kesalahannya. 
 
Tentu pengajaran kewarganegaraan tidak serta merta menjadikan orang menjadi seseorang seperti Umar. Ataupun kalau kita lihat contoh di Indonesia kita mengenal sosok Jenderal Soedirman yang pantang menyerah, walaupun dengan paru-paru sebelah. Bung Hatta yang bersih, bersahaja dan lurus pemikirannya, M. Natsir sang tokoh NKRI yang malah belum diakui sebagai pahlawan nasional dan banyak berbagai contoh dan teladan dari tokoh-tokoh pendiri republik ini.

Penagajaran Pancasila dan kewarganegaraan di perguruan tinggi tentu berbeda dengan yang diajarkan di SMU dan dibawahnya. Berikut ini adalah sikap yang ingin dibentuk dari pengajaran perkuliahan ini:
  1. Beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang maha Esa lagi Maha Kuasa, serta menghayati nilai-nilai Pancasila
  2. Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.
  3. Bersikap rasional, dinamis dan sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebgai warganegara
  4. Bersikap profesional yang dijiwai oleh kesadran bela negara
  5. Aktif memanfaatkan ilmu dan tekhnologi serta seni untuk kepentngan kemnausiaan
(Mustafa Kemal Pasya, Pendidikan Kewarganegaraan, Citra Karsa Mandiri, Yogyakarta, 2002)

Pendidikan kewarganegaraan, seiring dengan semangat reformasi dan demokratisasi diharapkan sebagai jalan yang mampu mengantar bangsa Indonesia menciptkan masyarakat demokratis, good governance, Negara hukum dan masyarakat madani di dindonesia. Inilah wujud dari harapan adanya pendidikan kewarganegaraan.

Undang-Undang No 32 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional Pasal 39 ayat (@) menyebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat (a) Pendidikan Pancasila; (b) Pendidikan Agama; (c) Pendidikan Kewarganegaraan. Di Perguruan tinggi, Pendidikan kewarganegraan diwujudkan dalam mata kuliah kewiraan sampai Orde baru runtuh. Sesuai dengan semangat reformasi, mata kuliah Kewiraan dianggap sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu Pendidikan Kewargaan (civics Educations) yang sekarang dikembangkan dengan pendekatan dialogis, bukan doktriner dan monolitik.
 

Tidak ada komentar: