Oleh: Akhmad Khoerul Fahmi, Sos
Bayangkanlah Anda sebagai warga Indonesia. Mengutip JFK, “apa yang bisa engkau berikan pada Negara?”. Apakah institusi negara itu? Lalu siapakah yang disebut negara sehingga kita layak taat dan mau memberi kepada negara. Bukankah seharusnya negara yang menjamin kehidupan kita?
Bukankah
ketika presiden dan anggota DPR bisa bersenang-senang, rakyatnya
belum tentu juga senang? Jika ada rencana kenaikan BBM yang paling
menderita adalah kelompok Elit alias ekonomi sulit. Dimanakah
Presiden, menteri, anggota DPR?
Secara
ideal, seorang pejabat negara—apapun level
tanggungjawabnya—harusnya tidak bisa tidur untuk mengurus
rakyatnya. Sebagaimana Khalifah Umar Ibn Khattab yang menangis
gara-gara ada kuda terjerambab ke dalam jurang, saat ia menjabat
sebagai khalifah. Beliau takut kepada Allah. Untuk dimintai
pertanggungjawabannya di akherat kelak.
Demikian
pula, Umar bin Abdul Aziz, khalifah
legendaris dari dinasti Ummayah yang mamapu mengenyahkan korupsi dan
kesewang-wenangan dalam tempo kurang dari 3 tahun. Dan itu dimulai
dari diri dan keluarganya untuk tidak semena-mena menggunakan
konsep aji-mumpung. Mumpung jadi pejabat maka semua fasulitas
adalah miliknya.
Memperbincangkan
hal itu, seakan hanya dongeng ataupun materi ceramah di masjid.
Sebab rata-rata orang di masjid akan berusaha alim. Kalaupun
secara ilmiah biasanya dilakukan untuk menuntut orang lain berlaku
seperti Umar. Masya Allah jika sikapnya demikian. Menuntut
orang lain berbuat sempurna. Ataupun biasanya sebaliknya, penguasa
mencari-cari ayat atau idiom untuk melindungi kesalahannya.
Tentu
pengajaran kewarganegaraan tidak serta merta menjadikan orang
menjadi seseorang seperti Umar. Ataupun kalau kita lihat contoh
di Indonesia kita mengenal sosok Jenderal Soedirman yang pantang
menyerah, walaupun dengan paru-paru sebelah. Bung Hatta yang bersih,
bersahaja dan lurus pemikirannya, M. Natsir sang tokoh NKRI yang
malah belum diakui sebagai pahlawan nasional dan banyak berbagai
contoh dan teladan dari tokoh-tokoh pendiri republik ini.
Penagajaran
Pancasila dan kewarganegaraan di perguruan tinggi tentu berbeda
dengan yang diajarkan di SMU dan
dibawahnya. Berikut ini adalah sikap yang ingin dibentuk dari
pengajaran perkuliahan ini:
- Beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang maha Esa lagi Maha Kuasa, serta menghayati nilai-nilai Pancasila
- Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.
- Bersikap rasional, dinamis dan sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebgai warganegara
- Bersikap profesional yang dijiwai oleh kesadran bela negara
- Aktif memanfaatkan ilmu dan tekhnologi serta seni untuk kepentngan kemnausiaan
(Mustafa Kemal Pasya, Pendidikan Kewarganegaraan, Citra Karsa
Mandiri, Yogyakarta, 2002)
Pendidikan
kewarganegaraan, seiring dengan semangat reformasi dan demokratisasi
diharapkan sebagai jalan yang mampu mengantar bangsa Indonesia
menciptkan masyarakat demokratis, good
governance, Negara hukum dan masyarakat madani di dindonesia.
Inilah wujud dari harapan adanya pendidikan
kewarganegaraan.
Undang-Undang No 32
tahun 1989 tentang system pendidikan nasional Pasal 39 ayat (@)
menyebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang
pendidikan wajib memuat (a) Pendidikan Pancasila; (b) Pendidikan
Agama; (c) Pendidikan Kewarganegaraan. Di Perguruan tinggi,
Pendidikan kewarganegraan diwujudkan dalam mata kuliah kewiraan
sampai Orde baru runtuh. Sesuai dengan semangat
reformasi, mata kuliah Kewiraan dianggap sudah tidak relevan lagi.
Oleh karena itu Pendidikan Kewargaan (civics Educations) yang
sekarang dikembangkan dengan pendekatan dialogis, bukan doktriner dan
monolitik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar